Bak Triple H, The Undertaker, dan The Booker, tiga siswa SMP di Bandung yakni Restu, Iyo, dan Ii mengerjai Reza BIkhsan Fadillah (9 tahun), tetangga mereka. Tubuh kecil siswa kelas III SD Cincin I itu mereka angkat, mereka jungkir balikkan, lalu mereka banting ke lantai. Belum cukup, Reza yang sudah meringis kesakitan tangannya ditekuk dan dipelintir.
Krekkk! Akibatnya, sepekan jelang Hari Raya Idul Fitri November 2006, Reza mengeluh tangan kirinya sakit hingga sulit digerakkan. Hasil rontgen di Rumah Sakit Hasan Sadikin, menyatakan tulang pangkal lengan kiri Reza terpisah. Urat di tangan kirinya terjepit tulang. Selain itu, Reza cedera di bagian dalam kepala. Sesudah beberapa kali pindah tempat perawatan, akhirnya sehari setelah Idul Fitri 1427 H, Reza tewas di pangkuan bapaknya, Herman Suratman.
Selidik punya selidik, ternyata kekejian ABG warga Kompleks Banda Asri, Desa Banda Asri, Kecamatan Cangkuang, Bandung, itu terinspirasi dari adegan SmackDown. Meskipun cuman permainan, SmackDown tampak sebagai tayangan gulat gaya bebas yang keras dan kasar serta alami. Dan itu ditiru mentah-mentah oleh pecandu tayangannya. Pada 1996 Christian Science Monitor pernah mensurvei 1.209 orangtua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun.
Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Jadi, 89% ortu bilang tayangan kekerasan TV berpengaruh pada perilaku anak. Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington menguatkan survei itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan).
Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan paralel. Gimana caranya, tayangan TV mempengaruhi perilaku penonton? Melalui tiga langkah, Mas Bro.
Pertama, media memudahkan orang mempelajari "cara-cara baru" kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Ini disebut copycat crimes. Misalnya pecandu SmackDown mempraktikkan jurus-jurus kekerasan yang dilihatnya.
Kedua, de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang jadi cuek terhadap penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974).
Ketiga, periklanan menganggap tayangan kekerasan lebih menjual. Studi oleh Bushman dan Bonacci (2002) menemukan, iklan yang menampilkan kekerasan semakin mudah diingat ketika ditampilkan di program televisi kekerasan. Menurut Centerwall, TV memang tak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan.
Tapi, pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; Kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; Ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; Keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Nah, kebaca dong sekarang. Bisa jadi para pelaku tawuran pelajar yang lagi rame adalah mereka yang masa kecilnya seperti Restu, Iyo, dan Ii. Saban hari dicekokin tayangan kekerasan dari gulat bebas smackdown, bulying sinetron, atau game online yang berdarah-darah. Kalo kondisi ini dibiarkan terus-menerus, alamat lahir generasi barbari yang otaknya tumpul dan kreatifitasnya mandul untuk beresin masalah bangsa. Saatnya negara lebih peduli. Jangan cuman ngandelin KPI buat monitoring tayangan televisi. Buang jauh-jauh aturan demokrasi kapitalis yang bikin negara kehilangan taji. Dalam menghadapi kebebasan media yang bikin rugi.
Kalo negara nggak berani, biar Islam yang unjuk gigi. Tegakkan khilafah, terapkan syariah. Pemicu budaya kekerasan, dijamin tak ada lagi. Catat tuh![]
Sumber: http://www.drise-online.com/2018/03/virus-brutal-dari-layar-kaca.html?m=1
0 komentar:
Posting Komentar