Pada Kamis (22/11), di daerah Semanggi, Jakarta, warga diramaikan dengan fenomena hujan es yang terjadi sore hari sekitar pukul 15.30 WIB. Selain hujan es, angin kencang juga dilaporkan merobohkan puluhan pohon dan bangunan di beberapa lokasi di Indonesia.
Tentu saja fenomena meteorologi tersebut bukan hanya mengganggu aktivitas keseharian, namun sangat membahayakan keselamatan kita. Apa sebenarnya yang terjadi dengan cuaca dan iklim kita?
Hujan es (Hail) adalah presipitasi (curah hujan) dalam bentuk padat, yang terdiri dari bola-bola es. Salah satu proses pembentukannya adalah melalui kondensasi uap air lewat pendinginan di atmosfer pada lapisan di atas titik beku (freezing level) 0° Celsius (C).
Es yang terjadi dengan proses ini biasanya berukuran diameter antara 5 sampai dengan 200 milimeter (mm), dengan batu-batu es besar yang berasal dari awan Cumulonimbus (Cb). Batu-batu es (hail stone) yang telah terbentuk mulai dari bagian tengah awan sampai pada lapisan atas awan (top cloud) tidak semuanya mencair ketika turun ke lapisan yang lebih rendah meskipun dengan suhu yang relatif hangat.
Hujan es yang terkadang disertai dengan angin kencang, bahkan puting beliung, dapat berasal dari jenis awan Cb bersel tunggal (Single-cell) ataupun berkelompok (Multi-cell) yang tumbuh secara vertikal dan di daerah tropis, bahkan mencapai level tropopause dengan jangkauan awan bersel tunggal secara horizontal sekitar 2-8 kilometer (km).
Awan Cumulonimbus (Cb) merupakan representasi bentuk sempurna awan konvektif dewasa (mature) yang sangat mudah tumbuh dan berkembang di wilayah Indonesia.
Jika kristal-kristal es yang telah terbentuk pada puncak awan dingin jatuh melalui lapisan awan campuran yang mengandung tetes-tetes air kelewat dingin (Supercooled water), maka kristal es akan tumbuh dengan penambahan (accretion) yang mana air menjadi beku dalam kristal es dan akan membentuk embrio batu es hujan.
Embrio batu es hujan akan naik mengikuti arus udara ke atas (updraft) sepanjang arus masih cukup besar untuk menopang massa es, sebaliknya akan jatuh ketika kecepatan terminal mengikuti gaya gravitasi lebih besar dibandingkan arus udara ke atas.
Batu es (hail) yang keluar dari sistem sirkulasi konvektif internal awan dan menuju ke bawah sepanjang penguapan (evaporasi) tidak terlalu besar akan tetap dalam berada bentuk es yang mungkin saja membahayakan aktivitas manusia apabila diameter batu es melebihi 2 sentimeter (cm) atau terjadi secara massive.
Bulan November merupakan fase peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Radiasi matahari yang masuk ke bumi (insolation) akan sempurna diterima oleh permukaan, sehingga memungkinkan awan tumbuh menjulang apabila didukung adanya inti kondensasi awan. Kondisi suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature, SST) di wilayah perairan Indonesia masih bernilai netral dengan anomali suhu berkisar antara -1.0 °C s/d 1.0 °C.
Ilustrasi hujan esIlustrasi hujan es (Foto:thinkstock)
Kondisi ini cukup memberikan peluang penguapan dan pertumbuhan awan di beberapa wilayah Indonesia termasuk Jakarta. Hasil pengamatan citra satelit menggunakan kanal IR1 dengan panjang gelombang 10,5 - 11,5 μm dan resolusi sekitar 5 km lebih memperlihatkan suhu puncak awan mencapai -80 °C yang menunjukkan kuatnya aliran udara ke atas (updraft) mengangkat tetes-tetes air kelewat dingin (supercooled water) dan kristal-kristal es pada lapisan tengah awan ke puncak awan untuk memaksakan semua partikel tersebut membeku dan bergabung (agregasi) akibat instensitas kolisi dan koalisensi yang sangat kuat.
Sehingga membentuk bongkahan es (hail) yang jatuh seiring aliran udara ke bawah (downdraft) dan tidak sempat mencair saat mencapai permukaan tanah karena penguapan lingkungan yang rendah. Lantas apakah ini pertanda nyata iklim yang berubah?
Apapun itu jika kita tidak berbenah, dengan pembangunan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kondisi lingkungan dan atmosfer, maka Jakarta atau daerah sekitarnya hanya akan menjadi daerah urban dengan polutan yang sangat tinggi dan tingkat albedo yang tidak seimbang akibat perubahan tata guna lahan (land use) yang mengarah pada perubahan iklim dan pemanasan global.
Akibatnya, tentu saja tingkat labilitas atmosfer akan semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan bencana hidrometeorologi dengan ancaman potensi hujan es yang semakin masif dan bahkan membahayakan aktivitas manusia.
Semakin sering fenomena hujan es mengindikasikan pergeseran pola cuaca dan iklim setempat. Perlu digarisbawahi, alam hanya merespons apa yang diterimanya. Oleh karena itu, mari kita jaga dan benahi atmosfer kita dengan segala tindakan yang bermartabat.
sumber: https://kumparan.com/deniseptiadi/fenomena-hujan-es-dan-implikasinya-bagi-atmosfer-kita-1542946186934921656
0 komentar:
Posting Komentar